SPONTANITAS, DAN AKAL SEHAT AKSI MAHASISWA



MAHFUDISME - Belakangan ini ada kata yang mengendap dengan sendirinya di dalam tengkorak kepala saya. Spontanitas. Banyak hal yang saya kira selalu lahir dan tumbuh bersifat spontanitas. Karena gangguan proses pengendapan kata itu saya merasa agak risih dan gatal, pada akhirnya saya menghabiskan waktu lebih banyak di internet—semata-mata mencari pengertian kata itu secara mendalam. Kata google, spontanitas mempunyai pasangan, lalu menikah dan beranak-pinak: kesertamertaan; kespontanan; perbuatan yang wajar, bebas dari pengaruh orang lain dan tanpa pamrih.

Sebelum ide tulisan ini lahir, beberapa hari lalu saya “dikecup” berita tentang aksi teman-teman mahasiswa. Sejumlah media mengangkat dengan hangat berita itu ke permukaan. Keributan yang terjadi di dalam gedung itu adalah pangkalnya. Barangkali begitu maksud berita. Kata yang sudah lebih dulu mengendap dalam kepala saya akhirnya merasa gelisah, dan membuat saya berpikir spontan. Saya memulai membuat analisis kecil-kecilan dan agak ugal-ugalan.  Kita tahu, setiap peristiwa pasti ada konteksnya.

Saya ingin menghadirkan sebuah contoh untuk menerangkan sejumlah peristiwa di atas, yang mungkin disusun dengan cara berpikir yang agak kelimpungan dan terengah-engah; dalam sebuah teater, semua penonton hanya memandang-terpaku pada pertunjukan di atas panggung. Tetapi apakah semua penonton akan berpikir, bagaimana kasak-kusuk di belakang panggung, bagaimana sibuknya para crew merancang properti-artistik sebelum dan pada saat pertunjukan dimulai?

Dari peristiwa itu dengan sangat hati-hati saya meraba dari permukaan yang ditampilkan sejumlah media. Barangkali publik hanya tahu bahwa ada dua soal yang terjadi di gedung itu, yaitu soal Dolar-Rupiah dan Anarkisme Mahasiswa.

Spontanitas itu yang membuat saya beranjak lebih jauh dan perlahan dari pengendapan kata dalam kepala saya. Kesertamertaan teman-teman mahasiswa adalah sebuah upaya untuk keluar dari situasi yang menggelisahkan, bukan hanya kegelisahan secara pribadi, tetapi bagi semua orang. Tentu spontanitas dari kawan-kawan bukan sekadar spontanitas belaka. Mereka adalah sebuah simbol atau contoh orang yang merawat akal sehat dengan cerdas. Mereka tahu pangkal persoalan yang terjadi, publik hanya melihat pucuk dari proses merawat akal sehat itu, lalu ada sejumlah orang yang memanfaatkan buah yang tumbuh-bertunas dan—buah itu tiada habisnya kita cicipi kini. 

Pada bait ke tiga di awal tulisan ini saya menghadirkan contoh yang mungkin bagi sejumlah orang kurang layak dipadupadankan dengan peristiwa itu. Mungkin juga sejumlah orang akan menganggap cara berpikir penulis (dan mungkin juga pengelola blog ini) memang ugal-ugalan dan tidak terkonsep seperti tulisan ini. Tetapi karena beranjak dari kata spontanitas itu saya melihat respon-spontan kawan-kawan terhadap soal dolar-rupiah itu sanggup membuat saya beranjak dari kata spontanitas itu sebagai sebuah kewajaran. Sebab kewajaran itu berhasil diselesaikan. 

Jika pun kesertamertaan dan kewajaran itu berujung pada persepsi yang agak kasar dalam kepala setiap orang, maka itu hanyalah respon dari sudut pandang lain, dan dalam Demokrasi, selisih pandang juga kewajaran dan yang musti dirawat adalah selisih pandang itu bukan arogansi dan kemarahan—yang musti kita rawat adalah kecerdasan. Bebas dari pengaruh orang lain dan tanpa pamrih. Dari kalimat ini saya kira kawan-kawan berupaya lepas dari pengaruh entah apapun bentuknya. Mereka ingin bebas-lepas dari kegelisahan yang mendera itu dan harus segera diselesaikan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Pada bagian ini saya ingin mengakhiri tulisan dan kata-kata yang berhamburan bagai sampah di jalanan. Saya teringat kata penyair sepuh, Sapardi Djoko Damono, mari kita basuh politik dengan puisi, maka tuntaslah puisi berikut:

Menangkap Kita Dalam Tangkup Kata

Banyak sekali orang di jalanan dan,“langit banyak menjatuhkan kata sifat,
tapi tak satupun yang dapat kutangkap dan kuingat”.

Kau lihat jalanan dibersihkan kendaraan, meninggalkan cemas
di tangkai sapu dan tungkai kaki tukang sapu jalanan di malam hari,
tetapi tetap tak sanggup kau ubah jadi puisi.

Puisi ini semata lampu jalanan mati dan gang-gang yang menyempit.
Kata-kata hanya kota yang tidak menginginkan kita saling jatuh mencintai.
Diri sendiri.

Banjarmasin, September 2018 

Penulis: Abdul Karim, Lelaki penyuka sastra asal Kalimantan Tengah. Dan kini sedang menjadi budak pada dirinya sendiri.
Editor: MAHFUDISME

Post a Comment

0 Comments