MENERAWANG KEMATIAN LPM SUKMA (PART 8, SELESAI)



MAHFUDISME -Tidak mau kalah dengan sinetron berseri-seri seperti Cinta Fitri, Anak Yang Tertukar dan Tukang Bubur Naik Haji.  Seri tulisan Menerawang Kematian LPM Sukma, akhirnya sampai juga ke part 8 (delapan,) dan mungkin berlanjut sampai part dua puluh bahkan part seratus apabila viewernya dan ratingnya masih tinggi. Dan tidak menutup kemungkinan seri tulisan ini akan di adaptasi dalam bentuk novel bahkan film oleh manajemen mahfudisme.com mengingat tingginya animo masyarakat. Siapa tahu, kisah-kisah yang diceritakan oleh para penulis dari part 1 hingga part milik saya ini bisa menjadi slot film yang bakalan menginspirasi banyak orang.

Dilema dengan memilih diantara mengidit foto hasil kerjaan atau menulis kelanjutan seri Menerawang Kematian LPM Sukma, akhirnya saya menyerah dengan desakan publik dan memilih menulis. Tentu menulis dengan seadanya seperti yang saya pelajari di Sukma dulu. Jika kata Ustadz Abdul Somad di dunia ini hanya ada dua yang dimulai dari nol, yaitu mengisi bensin dipertamina dan orang mualaf, maka bagi saya harus ditambah lagi menjadi tiga, yaitu perjalanan saya di Sukma.

Tidak pernah tau menahu tentang layout, tidak pernah menyentuh kamera dan tidak bisa menulis, itulah saya ketika pertama kali masuk Sukma. Sangat jauh dengan teman-teman seangkatan yang sudah berpengalaman. Diantara mereka ada ahli sastra, ada penyiar dan ada yang sudah berpengalaman dengan selak-beluk dunia organisasi.

Masalah tulisan tidak perlu diragukan, teman seangkatan saya banyak yang sudah bagus dalam dunia itu. Tulisan masuk koran sudah biasa bagi mereka menjadi santapan. Saya seperti seekor nyamuk disekitar sekawanan burung, sebuah batu ditengah mutiara.

Tapi benar kata pepatah arab, “Apa bila engkau berkawan dengan penjual minyak harum, maka pasti engkau akan kena harumnya”.

Perlahan saya mulai belajar kepada mereka tentang pola pikir, yang dulu tidak suka baca buku akhirnya ikut-ikutan juga baca buku, ikut berdiskusi walau saya tidak terlalu paham apa yang dibicarakan, karena ilmu saya belum sampai. Ikut-ikutan keacara sastra walau saya tak paham betul dimana letak keindahan bahasa sastra. Sambil berharap, suatu saat batu itu akan berubah menjadi mutiara atau minimal menjadi batu akik yang punya nilai tinggi.

Mungkin kebodohan atau kenekatan yang membuat saya bertahan di Sukma. Pertamakali membuat majalah, kami seangkatan tak pernah diajari bagaimana membuatnya, tidak pula diberi contoh bagaimana majalah yang bagus. Hanya kenekatan yang gila yang membuat kami berani mengerjakannya.

Mungkin bagi teman-teman yang lain, kami baru pertama kali membuat majalah, tapi tidak tahu menulis. Tapi bagi saya ini pertama kali membuat majalah dan pertama kali bersentuhan dengan layout.

Sungguh hanya kebodohan yang haqq dicampur dengan sedikit kegilaan dan dibumbui dengan kenekatan hingga pada akhirnya majalah itu jadi dan terbit pula. Meskipun terbit dengan tampilan buruk rupa karena di kerjakan oleh orang yang baru pertamakali tahu layout. Kalau diibaratkan sepeda motor, itu adalah sepeda motor yang sangat butut dan sering mogok mirip motor pimum tempo dulu.
Tapi meskipun butut dan sering mogok ada kepuasan dan kesenangan yang luar biasa melihat sebuah hasil setelah berjuang. Dan akhirnya kebodohan, kegilaan dan kenekatan itu berlajut ke majalah-majalah yang lain, dan juga hadir disaat saya mempelajari hal-hal baru di Sukma seperti fotografi, menulis, sastra dan lainnya.

Mungkin generasi Sukma sekarang banyak diisi oleh orang-orang pintar dan cerdas. Tidak seperti saya yang bodoh. Mungkin kepintaran mereka itulah yang membuat Sukma lebih baik. Mereka merancang sedemikian rupa bentuk dan isi tulisan dalam majalah, sehingga ketika terbit akan menjadi maha karya yang munomental dan membuat majalah butut kami tempo dulu tidak ada apa-apanya, proses perancangan majalah yang memerlukan waktu bertahun-tahun dengan tulisan yang dihasilkan dari diskusi panjang dan analisis yang tepat.

Meskipun sekali lagi “Perlu waktu bertahun-tahun untuk satu majalah” dan sampai tulisan ini diterbitkan mereka masih merancang majalah itu (belum terbit). Berbeda dengan majalah butut  pertama kami yang hanya dikerjakan dengan asal-asalan dan seadanya dalam waktu satu bulan dan alhamdullilah bisa terbit.

Dan mungkin kecerdasan mereka yang membuat mereka bisa menilai diri sendiri sehingga mereka dengan cepat bisa menyimpulkan, bahwa, mereka tidak bisa menulis sebelum belajar menulis, tidak bisa layout sebelum belajar layout, dan tidak bisa memfoto sebelum belajar foto. Dan akhirnya tidak mempelajari apa-apa di Sukma, tidak seperti saya yang bodoh. (orang bodoh akan terus belajar karena ia tahu ia bodoh. dan orang pintar akan berhenti belajar karena ia merasa pintar,). Dan terakhir saya mohon maaf atas kebodohan saya ditulisan ini. Sekian dan terimakasih.

Penulis: Muhammad Ali Furqan, tinggal di Bati-bati, pernah belajar di LPM Sukma tahun 2013, dan sekarang masih terus belajar (menyelesaikan tugas akhir).
Editor: MAHFUDISME

Post a Comment

0 Comments