MENERAWANG KEMATIAN LPM SUKMA (PART 6)



MAHFUDISME “Santai ja pang, orang kebanjiran itu pang basah sabarataan” Jargonnya Abdullah santri Ponpes Al-Munawwir (Tamban) saat terpojok dalam perbincangan saling canda tiap malam, Ponpes kini malah tempat saya mengabdikan diri sebagai bagian dari sumpah sarjana saya tahun 2017 silam.

Sosok berperawakan mungil, kulit hitam manis dan suaranya agak serak melekat sama Abdullah. Orang ini mengingatkan saya dengan teman-teman seangkatan di LPM Sukma dulu, karena kegigihannya, meski liburan sekolah tiba, ia tetap di asrama pondok.

“kamu gak pulang dulu” saya tanya padanya. “engga pak ai, kalau di rumah juga ngapain, sedang disini, jelas banyak yang dikerjakan” jawab lugasnya.

Dahulu, tak ada weekend bagi kami yang baru menyandang status penghuni sekre LPM Sukma. Tapi yang ada adalah, waktu luang tanpa makalah dan dosen killer, pembunuh argumentasi mahasiswa. Waktu luang itu kami isi dengan kegiatan mancing keberbagai daerah pelosok. Tiga kabupaten kota kami pernah singgahi hanya buat mancing.

Saking santainya di Sukma zaman purba kala itu, kami tak punya musuh sama sekali. Wah, saya pikir sebagaimana si Abdullah yang selalu nyeloteh ini-itu tentang wanita muslimah, Sukma kala itu mulai nyeloteh ini-itu guna menemukan jati diri ditengah kokohnya organisasi lain di kampus hijau IAIN Antasari (Sekarang memiliki julukan kampus biru, UIN Antasari. Duhhhh).

Bayangan tentang Abdullah santri baru yang masuk pada tahun ajaran baru 2018-2019 tersebut, merefleksikan Sukma yang baru pada tahun 2013 kemarin. Baru, sebab kami terlahir dari rahim tanpa dendam evaluasi senior saat workshop. Kami adalah bayi prematur yang bernafas dengan selang-selang oksigen diskusi tiap malam, kami dihangatkan dengan cahaya Tuhan tentang kebenaran-Nya yang meragukan setiap diskusi selesai. Kami tata kembali ruang itu, lalu menyala kompor dan mengulek sambal.

Yah, Mahfud dan Ali suka sekali sambal. Wajarlah, saya kemudian ikut suka makan tulisan yang agak pedas. Saking pedasnya sambal Sukma, tiap kali menggoreng cabenya satu gedung batuk-batuk. Tapi tak ada yang berani komentar, sebab takut kami ulek dalam buletin Berantas.

Beda dengan si Abdullah yang suka main gitar selepas ia lelah muthalaah. Kami di Sukma lebih suka tantangan dan menantang kesukaan orang lain. Bagaimana tidak, orang di zaman kami suka sekali parkir sembarangan, kami malah tendang sifatnya dalam tulisan, orang dizaman kami suka sekali ngakalin dana program pesantren mahasiswa, kami lempar kesukaannya itu dalam tulisan indepnews. Satu kampus gempar, satu kampus mulai ngamuk, baru kamu diam dan tersenyum.

Sukma zaman kami itu, adalah sosok yang jangan kalian tiru. Karena meniru kami hanya akan menghantarkan kalian pada kesusahan hidup, kuliah lima tahun, dengan kajur disemua fakultas akan berpotensi bermusuhan, nongkrong bentar di mesjid dikira sedang mengintai buat bahan tulisan, wawancarai mahasiswi dikira modus dan segudang prasangka negatif mereka yang negatif akan melekat di bahumu, bocah-bocah Sukma.

Saat begitu banyak yang marah padamu, Abdullah akan berkata “Santai ja pang, orang kebanjiran itu pang basah semua”.

Sanjai saja, tanpa diatur pun, Sukma akan teratur dengan sendirinya. Ia adalah Sukma yang terus menemukan raga-raga baru tiap tahunnya, tinggal raga itu sehat atau tidak, gaya berfikir ya atau tidak. Tinggal raga itu kurus karena diskusi atau gendut karena makan saja empat kali sehari.

Kami hanyalah kenangan yang tak sepantasnya jadi jalan kalian duhai pengurus Sukma yang sekarang. Tapi seumpama kalian mau gunakan kami sebagai kaca spion, alangkah senangnya kami bisa mengingatkan seumpama ada orang yang mau menyalip karya-karya kami dengan karya kalian yang sekarang.

Penulis: Rizali Norhadi, S.Sos. Buruh dari kalam-kalam-Nya yang juga pernah satu PDH dengan kalian.
Editor: MAHFUDISME

Post a Comment

0 Comments