MAHFUDISME - “Santai ja
pang, orang kebanjiran itu pang basah sabarataan” Jargonnya Abdullah santri Ponpes
Al-Munawwir (Tamban) saat
terpojok dalam perbincangan saling canda tiap malam, Ponpes kini malah tempat
saya mengabdikan diri sebagai bagian dari sumpah sarjana saya tahun 2017 silam.
Sosok
berperawakan mungil, kulit hitam manis dan suaranya agak serak melekat sama Abdullah. Orang ini mengingatkan saya dengan teman-teman seangkatan di LPM Sukma dulu,
karena kegigihannya, meski liburan sekolah tiba, ia tetap di
asrama pondok.
“kamu gak pulang dulu” saya tanya padanya. “engga
pak ai, kalau di rumah juga ngapain, sedang disini, jelas banyak
yang dikerjakan” jawab lugasnya.
Dahulu, tak
ada weekend bagi kami yang baru
menyandang status penghuni sekre LPM Sukma. Tapi yang ada adalah, waktu luang tanpa makalah dan dosen killer, pembunuh argumentasi mahasiswa. Waktu luang itu kami isi dengan
kegiatan mancing keberbagai daerah pelosok.
Tiga kabupaten kota kami pernah singgahi hanya buat mancing.
Saking
santainya di Sukma zaman purba kala itu, kami tak
punya musuh sama sekali. Wah, saya pikir sebagaimana si Abdullah yang selalu
nyeloteh ini-itu tentang wanita muslimah, Sukma
kala itu mulai nyeloteh ini-itu guna menemukan jati diri ditengah kokohnya organisasi
lain di kampus hijau IAIN Antasari (Sekarang memiliki julukan kampus biru, UIN Antasari. Duhhhh).
Bayangan
tentang Abdullah santri baru yang masuk pada tahun ajaran baru 2018-2019
tersebut, merefleksikan Sukma yang baru pada tahun 2013 kemarin. Baru, sebab
kami terlahir dari rahim tanpa dendam evaluasi senior saat workshop. Kami adalah bayi prematur yang bernafas dengan selang-selang oksigen diskusi tiap malam,
kami dihangatkan dengan cahaya Tuhan tentang kebenaran-Nya yang meragukan setiap diskusi selesai. Kami tata kembali ruang itu, lalu menyala kompor dan mengulek
sambal.
Yah, Mahfud
dan Ali suka sekali sambal. Wajarlah, saya
kemudian ikut suka makan tulisan yang agak pedas. Saking pedasnya sambal Sukma,
tiap kali menggoreng cabenya satu gedung batuk-batuk. Tapi tak ada yang berani
komentar, sebab takut kami ulek dalam buletin Berantas.
Beda dengan
si Abdullah yang suka main gitar selepas ia lelah muthala’ah.
Kami di Sukma lebih suka tantangan dan
menantang kesukaan orang lain. Bagaimana tidak, orang di zaman kami suka sekali
parkir sembarangan, kami malah tendang sifatnya dalam
tulisan, orang dizaman kami suka sekali ngakalin dana program pesantren mahasiswa, kami lempar kesukaannya itu dalam
tulisan indepnews. Satu kampus
gempar, satu kampus mulai ngamuk, baru kamu diam dan tersenyum.
Sukma zaman
kami itu, adalah sosok yang jangan kalian tiru. Karena meniru kami hanya akan
menghantarkan kalian pada kesusahan hidup, kuliah lima tahun, dengan kajur
disemua fakultas akan berpotensi bermusuhan, nongkrong bentar di mesjid dikira
sedang mengintai buat bahan tulisan, wawancarai mahasiswi dikira modus dan
segudang prasangka negatif mereka yang negatif akan melekat di bahumu, bocah-bocah Sukma.
Saat begitu
banyak yang marah padamu, Abdullah akan berkata “Santai ja pang, orang
kebanjiran itu pang basah semua”.
Sanjai saja,
tanpa diatur pun, Sukma akan teratur dengan sendirinya. Ia adalah Sukma yang terus
menemukan raga-raga baru tiap tahunnya, tinggal raga itu sehat atau tidak, gaya berfikir ya atau tidak. Tinggal raga itu kurus karena
diskusi atau gendut karena makan saja empat kali sehari.
Kami hanyalah
kenangan yang tak sepantasnya jadi jalan kalian duhai pengurus Sukma yang
sekarang. Tapi seumpama kalian mau gunakan kami sebagai kaca spion, alangkah senangnya kami bisa
mengingatkan seumpama ada orang yang mau menyalip karya-karya kami dengan karya kalian yang sekarang.
Penulis: Rizali
Norhadi, S.Sos. Buruh dari kalam-kalam-Nya yang juga pernah satu PDH dengan kalian.
Editor: MAHFUDISME
0 Comments