NONTON ORANG PINTER DI TELEVISI, ATAU KITA YANG TERLALU SIBUK BODOH



MAHFUDISME Dari kemarin, entah kenapa, rasanya kepala saya tumpul, setiap yang dibaca maupun yang terlihat tak membuahkan apa-apa selain kepercuamaan. Untuk itu, saya tak menulis dan rasanya berulang-kali saya bersalah pada diri sendiri.

Ditengah tumpulnya kepala, lagi-lagi saya diasupi pertikaian yang tak kunjung selesai. Di televisi dan di YouTube, pertikaian-pertikaian itu tersaji, dihidangkan kepada penonton, seolah-oleh bahasa-bahasa yang mereka gunakan patut kita dengar. Dalam beberapa hari terakhir ada banyak berita yang dibungkus rasa “nasional” dan dengan latahnya kita, dari Sabang sampai Merauke, seolah-olah harus mengkonsumsi omongan-omongan mereka.

Saya pun mencatat beberapa berita yang tersebar dibeberapa media dengan rasa “nasional” itu:

#2019GantiPresiden vs #2019TetapJokowi, PHK Karyawan Tokopedia, Ahokers Batal Golput, Hasil Survei, Kasus Meiliana, Netralitas TNI-Polri dalam Pidato Jokowi, Juru Bicara Pilpres, Hingga Kado PHP Buat Prof. Mahfud MD.

Semua sajian berita tersebut seperti bayang-bayang dalam kehidupan masyarakat sekarang. Pertengkaran yang dikemas dengan bahasa “Talk Show” dipelototin kita dan seolah juga merupakan bagian dari pemasalahan kita, Indonesia.

Yang bertengkar opini bukanlah orang sembarangan, mereka bahkan bisa dipastikan punya gelar serjana atau minimal mungkin punya julukan dan di puja-puji banyak orang, dan lagi-lagi, kita sebagai penonton juga merasakan apa yang mereka rasakan. Omongan mereka merasuk dalam kelinjar-kelinjar otak kita, hingga akhirnya kita tergerak untuk berada di balik mulut salah satu pembicara itu.

Kita memang sedang sibuk-sibuknya dengan Asian Games, tapi yang tak kalah sibuk soal dukung mendukung, ya tentu saja soal Pilpres. Di satu sisi, misalnya, gerakan #2019GantiPresiden dilarang oleh Polisi agar daerah tersebut tetap kondusif, tapi disisi lain simpatisan dari gerakan ini bakalan bilang “kita legal dan sesuai konstitusional”. Dan terus terang saja, ini juga seakan-akan di kemas menjadi masalah “nasional”.

Belum lagi jika kita melirik keluarga kita di Lombok yang terkenak gempa, pendukung si A akan bilang bahwa si B gelap mata karena tidak menaikkan status gempa di Lombok menjadi bencana nasional. Begitulah drama-drama seperti diatas akan tertata rapi dalam telivisi setiap hari. Dan penonton seperti kita, seolah-olah menjadi orang paling bodoh, menonton lalu menjadi orang yang pro dan yang kontra.

Disaat sebegini jlimet berita-berita di telivisi yang rasa nasional itu, kita lupa lingkungan kita, lupa sahabat karena beda pandangan, posting ini-itu demi dukungannya, blokir akun karena merasa terdzalimi dan kesal, yang padahal kesemua dari omongan mereka layaknya drama FTV. Masyarakat yang jungkir balik juga beradu argumen, pada akhirnya bukanlah siapa-siapa dimata mereka. Rakyat tetaplah rakyat yang jika mati lampu rumahnya akan gelap gulita, rakyat biasa pada akhirnya, sekeras apapun adu opini, tetaplah tak ada apa-apanya.

Jika mereka kelak bertengger di kursi-kursi mereka, tetaplah lobi sani-sini agar urusan beres, imajinasi keberhasilan pembangunan nasional harus merelakan jutaan hektar sawah rakyat yang dulunya koar-koar kepadanya.

Kita memang mudah menjadi pengikut, tapi bersikap sendiri kadang menjadi pecundang. Untuk itulah biar tak mudah tertipu naskah drama mereka, masyarakat harus sadar politik, bukan hanya mengencangkan urat leher setiap update status. Paham?

Disaat kita sibuk adu opini begini, negara lain bikin segala macam, kita malah cuma bikin penyakit yang timbul dalam 5 tahun sekali. Negara mau berkembang? Ngaca kau!


Penulis: Moh Mahfud
Editor: MAHFUDISME

Post a Comment

0 Comments