MAHFUDISME - Kebaikan tiada batas,
pertolongan selalu datang dari tangan yang ikhlas.
Itulah gambaran tepat untuk
Badan Pemadan
Kebakaran (BPK). Jika kebetulan kalian datang ke Banjarmasin, kalian
akan menemukan BPK
ini ada disetiap
gang, komplek dan semacamnya di berbagai sudut kota Banjarmasin.
Bagi
masyarakat Banua
sendiri, siaga
BPK dalam menanggulangi kebakaran sangatlah penting. Jadi wajar, bukan hanya gang dan komplek, tapi masjid dan mushola juga
punya BPK.
Yang lebih unik lagi alat pengendara transportasi
yang digunakan mereka cukup beragam dan memiliki bunyi yang
hampir seragam dengan bunyi ambulan.
Tepat 23 Agustus 2018 kemarin,
BPK se Kota Banjarmasin memasuki tahun ke tiganya memegang rekor Muri (rekor banyak-banyakan). Tiga tahun waktu yang terbilang unyu, dalam
usia perkembangan anak dianggap belum pubertas. Dianggap remaja pun masih
belum, jauh dari kata dewasa yang menjanjikan suatu makna yang terkandung dalam
kota seribu BPK.
Dengan gagahnya kota
Banjarmasin ini bangga memiliki budaya BPK terbanyak se
Indonesia, bahkan se Asia.
Sedangkan budaya sungai yang dari dulu dianggap sebagai kultur Banjar dengan sistem
jual beli di pasar, kini tenggelam, dan diasingkan dengan hadirnya
budaya-budaya baru termasuk budaya seribu BPK ini.
Alhasil, budaya seribu BPK ini
berhasil menggeser budaya seribu sungai yang
dulu, acil-acil yang sedang jualan
diatas sungai sudah “cap jempol” masuk RCTI OKE.
Jadi, sekarang
seribu
BPK adalah bagian dari nilai kehidupan di Banua. Dan mereka tidak menganggap
budaya baru. Gotong
royong adalah tugas kemanusiaan yang berhasil merubah
pola pikir masyarakat bahwa 10 atau 30 tahun kedepan sungai-sungai di
Banjarmasin benar-benar akan macet total. Dengan pengecualian, sungai yang tersisa hanya untuk
rekreasi, bukan sebagai identitas lokalitas Banjar.
Rekor Muri
yang dipegang BPK di Kota Banjarmasin memang harus kita apreasisasi, akan
tetapi apakah kita tidak lebih bangga ketika pegang Rekor Muri sebagai wilayah
terbanyak sungainya? Memang, menjadi petugas BPK itu tidak mudah, hampir semua personil
dan relawan yang ada, tidak dibayar sepeserpun untuk melakukan berbagai
aktifitas yang berhubungan dengan penyelamatan. Mereka bekerja tanpa dibayar,
bekerja sebagai tugas kemanusiaan dan bekerja hanya sebagai panggilan
nuraninya. Terbukti dalam sebuah berita Banjarmasin Post - Agus Salim, Ketua
KGE Kalsel mengaku hal itu tidak mematahkan semangat anggotanya, dalam
membangun dan mengembangkan organisasi.
"Nah, harapan itu pula
yang saya gantungkan di usia ketiga Banjarmasin yang menyandang rekor MURI
sebagai kota BPK Swasta terbanyak. Mudah-mudahan dengan sikap kreatif dan
profesional, tidak hanya menunjukkan BPK ada namun vaksin, tapi selalu eksis
menjalankan tugas kemanusiaan," ungkapnya.
Ungkapan dan harapan Agus
Salim itu masih menjadi tanda tanya dalam benakku, apakah profesionalitas masih
berlaku di organisasi berjenis BPK Swasta tersebut. Sedangkan kreatif masih
mewakili harapannya itu, sebab ada hal yang perlu diperhatikan pemerintah soal
kebanggaannya ini sebagai rekor MURI, Seribu BPK.
Pertama, lihat anak-anak
diusia 7-15th turut serta memadamkan api dan kebetulan tepat dibelakang rumahku
asal api itu muncul membakar, 5 tahun lalu. Anak sekolah SD itu mengenakan
pakaian pemadam, ia bersemangat memasang alat pemadam. Kedua, fasilitas dan
alat masih memanfaatkan mesin yang lama, tidak ada pembaharuan atau perbaikan
secara bertahap tiap tahunnya. Ketiga, pengemudi atau Joki mobil BPK itu masih terbilang otodidak, mereka terlatih karena
lapangan dan menjamin hal itu belum ada lagi secara resmi. Keselamatan di
tangan Tuhan, bukan di tangan pemerintah lagi jika sewaktu-waktu terjadi.
Semoga, bapak-bapak, pemuda
dan anak-anak yang bekerja keras terhadap panggilan kemanusiaan tersebut.
Seribu BPK, seribu amalmu tidak melunturkan isi perutmu. Haus dan lapar,
sesekali kadang terlihat orang memberi cuma-cuma dan pemerintah tergolong sekedarnya saja membantu BPK.
Penulis: Muhammad Rahim (Mahasiswa Bimbingan
dan Konseling Islam 2014, UIN Antasari)
Editor: MAHFUDISME
0 Comments