BERSYUKUR ATAS CARA PIKIR KITA YANG SIAL, DAN KESIALAN KITA YANG LUPA BERSYUKUR



MAHFUDISME Sebenarnya saya tidak sanggup mengulas hal ini. Tapi saya semakin bimbang atas rentetan kejadian yang terus datang dalam hidup sejak kecil sampai saat ini. Meski saya selalu mencari makna apa yang sebenarnya ingin Tuhan tunjukan, dengan penuh curiga sebagai manusia yang lemah, saya hanya bisa menerima atas kehendaknya begitu saja.

Saya ingin menceritakan ini sebagai kenangan pahit yang perlu jadi sejarah tertulis sebagai renungan bersama, betapa beruntungnya memiliki kesialan dalam kacamata manusia, yang mungkin berupa teguran dari kesalahan saya terhadap makhluknya yang beruntung dan saya harus mendapatkan kesialan setelahnya.

Kejadian itu selalu menjadi pertanyaan yang terus berulang, terus berulang. Okelah saya akan merunut dari awal kenapa saya anggap sesuatu itu menjadi kesialan. Meski saya memahami pembaca pasti menvonis saya sebagai orang yang tak beruntung, atau bahkan sebagai orang yang cengeng menceritakan kesialannya untuk mendapat simpati, saya tidak mau tau. Intinya saya akan mengisahkan untuk kalian.

Imam Syafii dan beberapa ulama yang sering saya dengar bahwa dalam menuntut ilmu haruslah lama. Kisah yang sangat mengharukan selalu diputar dalam kepala saya oleh guru agama, bahwa dulu ada seorang yang mencari ilmu selama 40 tahun, tapi tidak mendapatkan ilmu. Otaknya terasa tumpul karena apa yang dia ketahui seakan tak berbekas sama sekali.

Suatu ketika orang itu putus asa dan hendak pulang dengan beberapa pertanyaan dalam kepalanya “Sekian tahun saya belajar saya tetap begini. Kenapa ilmu tak bertambah sedikit pun?”

Di tengah perjalanan dia pulang, tiba-tiba terjadi hujan yang lebat. Hujan itu menghalangi langkahnya, ia harus berteduh. Ia menemukan gubuk yang tak berpenghuni, lalu ia singgah digubuk tersebut. Di tempat yang kumuh inilah ia menemukan pelajaran dari air hujan yang jatuh. Air itu menetes dari atap gubuk lalu jatuh ke batu yang keras hingga batu itu berlubang. Orang ini hanya mengamati.

Dalam pikirannya, “Batu keras saja bisa berlubang dengan air yang lembut. Akankah otak saya yang lemah memang tidak bisa dimasuki ilmu sedikit pun?”

Lalu dia berbalik langkah, datang lagi kepada gurunya dan belajar lagi seperti sebelumnya. Ia tekuni belajar hingga bertahun-tahun lamanya. Dan pada akhirnya ini menjadi ulama besar, menjadi orang yang ilmunya begitu amat banyak. Bayangkan, dia hanya berpikir soal tetesan air kebatu. Itu menandakan betapa dahsyatnya berpikir. Hingga namanya pun dinisbatkan pada batu yang memberinya pelajaran yang begitu berharga. Orang itu bernama Ibnu Hajar yang artinya anak batu karena otaknya keras bagaikan batu, tapi dapat melunak dengan lamanya ia mencari ilmu. Ibnu Hajar, penulis kitab terkenal Bulughul Maram dan Bathul Bary.

Kisah di atas inilah yang selalu menjadi jawaban atas kelemahan saya, misalnya kenapa saya tidak lulus MTs pada waktu itu (2006)? Jawaban yang  sebenarnya hanya pembelaan yang keliru. Saya anggap keliru karena pada waktu itu, dari sekian banyak murid, hanya ada 5 orang yang di nyatakan lulus ujian akhir. Apa yang membuat mereka tidak lulus? Secara tingkat pola pikir sebagai anak pedesaan yang tidak suka baca, serta pertanyaan dalam kertas ujian banyak yang belum dipelajari. Setelah di teliti, ternyata akibat dari kurikulum yang berganti. Sekolah berpedoman kepada kurikulum 1999. Sedang secara nasional menggunakan kurikulum 2004.

Saya anggap ini kesialan pertama yang menimpa saya di waktu genting. Kejadian ini saya anggap kesialan yang harus disyukuri setelah berjalannya waktu. Sebab kejadian ini saya punya kesempatan belajar ke pulau Madura. Sesampainya di madura, ternyata kesialan langsung menghampiri oleh sistem yang dibuat buat. Terasa berlebihan mengatakan bahwa sistem yang disalahkan. Saya harus mengulang satu tahun lagi. Yaitu masuk pada kelas dua dengan pemahaman yang saya terima, di sini pendidikannya lebih maju (perilaku seperti ini sepertinya berulang ulang bahwa tingkat intelektual orang diluar jawa rendah).

Tentu saya manut saja diperlakukan seperti itu, mestinya ini tidak boleh dilakukan karena memiliki kesan kurang baik. Yaitu memandang kemampuan seorang dari giografisnya. Saya anak desa yang tidak lulus mau mengulang pada kelas yang sama namun ditolak dengan alasan kurang pintar.

Kalau sedikit meringankan dengan alasan waktu betapa beruntungnya saya. Coba yang terbesit dalam pikiran anda atas apa yang saya alami ini, tentu anda akan bilang saya tidak beruntung, bukan?

Kemudian, saya sering mengaitkan setiap hal yang baru akibat dari kesialan tidak lulus ini. Dengan tidak lulusnya saya, waktu itu membuatku sekolah ke Madura, dalam perjalanan sekolah di Madura ini saya bisa berziarah kepada para Walisongo.  Mengikuti tour kebeberapa tempat bahkan mengunjungi situs sejarah kelam lubang buaya.

Sekolah di mana saja sama, yang menentukan adalah kita. Apakah mau pintar atau pandai terserah kita. Saya beruntung bisa sekolah di sini karena saya bertemu dengan murid murid yang hebat. Pada sekolah ini telah banyak alumninya yang pandai menulis, pandai dalam organisasi. Terinspirasi dari para alumni itu, saya mulai belajar menulis, masuk organisasi.

Membaca postingan kawan, “ubah cara pikirmu maka nasibmu akan berubah”pola pikir kita yang terlalu negatif terhadap apa yang menimpa hidup kita dianggap masalah. Padahal masalah itu tidak ada di kehidupan kita. Namun, karena pikiran kita terus menganggap masalah, maka sesuatu itu jadi masalah benaran! Masalah sial yang berulang.

Penulis: Ali Senior, warga Kab. Banjar. Penyuka berpikir mendalam tapi bukan filsuf
Editor: MAHFUDISME

Post a Comment

0 Comments